Jumat, 25 Oktober 2013

Mendaki Rinjani


...malam itu suasana Segara Anak dan sekitarnya terlihat terang, cuaca cerah dan bintangpun bertebaran dia atas danau nan biru yang tersinari cahaya sang rembulan.

Lima buah tenda kami pasang persis menghadap ke danau, usai menyantap menu makan malam api unggun pun kami nyalahkan…sebotol wine kami buka untuk menyemarakan suasana malam itu……

Dengan disinari cahaya sang rembulan, suasanapun semakin ceria dengan gelegar tawa mengulas kisah perjalanan kemarin hingga siang tadi….

Mau tau cerita pendakiannya…ikuti terus kisah perjalan dan foto ini…


Perjalanan yang heboh menuju Sembalun

Seiring berakhirnya azan Isya, kendaraan engkel yang kami charter berangkat dari kota Mataram menuju Desa Sembalun Lawang yaitu desa entri point untuk mendaki Gunung Rinjani. Kami semua ber tujuh yaitu : Tanto, Omar, Nora, Ludo, Ola, Song dan saya sendiri, kami mendaki Rinjani hanya dalam rangka mengisi long weekend.

Tanpa kami rencanakan ternyata kru (crew) kendaraan yang kami charter ada tiga orang (pengemudi, kondektur dan temannya) mereka duduk bertiga di bangku depan, hari beranjak malam kendaraan yang membawa kami segera melesat kearah luar kota Mataram. tak lama terlihat mereka mengambil sebotol minuman yang entah apa namanya dan mulai meminumnya secara bergantian.
Saya sedikit bertanya pada seorang kru "minuman apa itu mas?" dan ia jawab "ini arak, mau coba?" ia balik menawarkan, spontan beberapa teman terheran-heran. lalu saya coba menjelaskan ke teman-teman "itu biasa mereka kalau jalan malam hari tradisinya selalu minum...tapi tetap konsentrasi ko..".
sekitar 1 jam perjalanan, ada razia kendaraan tepat di depan kantor Polsek Tanjung dan kendaraan yang kami tumpangi di tangkap karena bermasalah dengan kelengkapan surat-surat. setelah bernegosiasi selama 30 menit akhirnya kendaraan di bebaskan tentunya setelah "berdamai ria" dan lamipun segera melanjutkan perjalanan.


mejelang tengah malam kami melelui tanjakan yang cukup terjal, hingga mobilpun harus berjalan zig-zag agar tetap bisa menanjak. hingga di satu ketika mobil mogok tepat di sebuah jalan yang cukup terjal, sekilas mereka terlihat panik salah seorang kru mencoba menenangkan kami "tenang-tenang...duduk ajah..!!" namun kami yang juga panik melihat kondisi itu, spontan kamipun berhamburan keluar kendaraan.
setelah melewati berbagai masalah akhirnya kami tiba di Desa Sembalun, dua orang porter yang kami hubungi tadi siang sudah menunggu di dekat Pos pendakian. kami segera di ajak cottages Pondok Sembalun utuk segera beristirahat.


Menuju Plawangan Sembalun

Mentari sudah agak tinggi ketika kami mulai bangun dan keluar dari penginapan, maklum efek dari petualangan tadi malam. Tak lama kami segera sarapan pagi dengan menu nasi goreng jatah breakfast dari penginapan, usai sarapan kita urus perijinan di Pos pendakian Sembalun. Prosesnya tak terlalu rumit..cukup mengisi daftar tamu dan membayar retribusi ticket masuk, lalu kita siap melakukan pendakian.

Warna-warni bunga di sepanjang jalan seraya menjadi hiasan, semua sedang bermekaran putih, kuning, merah...semua menambah indah pemandangan di jalur awal pendakian. sebetulnya di jalur awal jalannya masih bisa dilalui kendaraan roda empat hingga ke ujung jalan, namun entah kenapa saya tidak terfikir untuk mencarter colt bak terbuka padahal lumayan menghemat tenaga.


Matahari makin beranjak tinggi dan panasnya cukup menyengat kulit, dengan langkah perlahan namun pasti kita tetap berjalan. Padang rumput yang luas mulai menjadi objek pemandangan kami, bagaikan permadani yang menghapar di sinari cahaya matahari menamnah indah panorama sepanjang jalur.

seiring gerimis mereda lewat pukul 13.00 kami tiba di Pos I, disini kami menghentikan perjalanan untuk beristirahat dan makan siang. beberapa rombongan pendaki mulai berdatangan hendak turun menuju Sembalun, sesekali kami bertegur sapa sambil menawarkan minuman hangat yang juga sedang kami nikmati.
Usai makan siang perjalanan kami lanjutkan, masih melewati padang savanna yang luas dan indah. target kami hari ini sebetulnya adalah Pos II, namun karena fisik yang masih segar dan waktu juga masih memungkinkan maka kami lanjut menuju Pos III. Hari mulai gelap ketika kami tiba di Pos III, porter yang membantu kami dengan sigap membuka 5 buah tenda yang mereka bawa lalu merekapun berbagi tugas untuk membuat perapian dan masak makan malam.


Sementara itu Ludo bergegas menjemput Ola dan Tanto yang belum juga tiba di Pos ini, ia membawakan headlamp cadangan karena khawatir gelap. Tak lama merekapun tiba dan bergabung disini, suasanapun semakin meriah setelah semua bergabung. Seiring terbitnya sang Rembulan makan malam sudah tersaji dan siap kami santap bersama, menu malam ini Nasi putih, Sop hangat, rendang dan telur dadar...
Malam semakin larut, usai bercengkrama kami segera masuk ke tenda masing-masing dan siap menyambut sang mimpi........












Mendaki Tanjakan Penyesalan


kicau burung bersautan menyambut pagi yang cerah, satu persatu kami segera keluar dari peraduannya. Udin segera menawarkan kami minuman hangat " mau minum apa? Kopi atau teh ya...?" dan tak lama kami semua sudah bangun dan siap menyambut pagi. Semburat cahaya sang mentari berganti biru langit yang cerah menghias cakrawala pagi ini, pucuk-pucuk pinus seraya berlomba menyambut suasana.


Setangkap roti panggang isi telur omelet menjadi menu sarapan pagi kami, lumayan menggajal perut yang belum terlalu lapar. Pagi ini kami siap beraktifitas, mulai dari mempacking perlengkapan dan siap menghadapi medan "tanjakan penyesalan" yang konon lintasannya terus menanjak tanpa bonus landai.


yah...itulah resiko dan tantangan yang harus di hadapi dalam setiap pendakian gunung. walaupun terjal harus dijalani. Ludo, Omar dan Song berjalan paling depan, saya, Ola dan Nora di posisi tengah, sementara Tanto dan satu orang porter kami berjalan paling belakang. Di antara rindangnya pepohonan cemara saya bertiga sempat beristirahat untuk sekedar minum teh hangat dan makan makanan ringan sekedar untuk pengganjal perut.


Tepat pukul 11.00 Lodo dkk sudah tiba di Plawangan, kabar itu kami dapat dari rombongan yang berpapasan saat turun, tak lama saya menyusul. Tanto tertinggal jauh di belakang karena kaki kirinya lecet oleh gesekan sepatunya yang sudah lama tidak ia pakai. Sementara yang lain menuju camp, saya tetap menunggu Tanto di Plawangan.


begitu lamanya hingga ku putuskan untuk meninggalkan Tanto, lalu saya mengutus Udin untuk menyusul dan membantu membawa bwbannya. Setelah semua berkumpul, aktivitas seperti biasa ada yang bercanda dan bercerita pengalaman sepanjang perjalanan. Tak lupa kam mengabadikan moment sore yang indah di Plawangan.
Malam ini kami sengaja cepat beristirahat agar dapat bangun pukul 03.00 pagi untuk mendaki puncak Rinjani sepagi mungkin.

Kamis, 24 Oktober 2013

Kampung Adat Senaru


Turun dari mendaki Rinjani, tepatnya di dekat pos pendakian Senaru.
aku sempatkan untuk melihat dari dekat kampung adat ini.


waktu yang sangat singkat hingga aku tak dapat mencari keterangan tentang data kampung ini...namun secara sekilas aku sangat merasakan kesederhanaan dan kesahajaan disini...

kompleks kampung tradisional ini masih terlihat asri dan bersih...natural sekali..
perumahan yang tertata dan terstuktur rapi, ada balai pertemua...tanah lapang..lumbung..dll

..seandainya kampung ini akan tetap seperti ini, tak terusik oleh kemajuan zaman..pasti akan tetap terlihat berwibawa..seperti layaknya kampung Baduy di Banten.

menurutku kalaupun suatu saat ada yang peduli untuk merenovasi..alangkah baiknya di buat seperti apa adanya dan dengan bahan baku yang sama sehingga tidak merusak adat dan budaya yang ada.

salam
Sugi Qtynk















 

Rabu, 23 Oktober 2013

Liburan Akmal dan kawan-kawan ke Semeru

Musim libur sekolah telah datang dan kini tiba saatnya mereka menagih janji untuk berlibur ke Gunung Semeru, rencana ini memang sudah di jadwalkan jauh-jauh hari sebelumnya dengan menyisihkan uang jajan yang tentunya jauh dari cukup setidaknya mereka memang berniat untuk berlibur kesana.

Sebetulnya rencana ini berawal setelah mereka kepincut usai menyaksikan tayangan film 5 cm namun untuk memantapkan kembali rencana tersebut kami berusaha membekali semuanya dengan beberapa referensi tentang Semeru yang menjadi daerah tujuannya agar semua rencana berjalan lancar.
Akmal, Aji, Ilham, Raka dan Sabilli, mereka berlima adalah siswa-siswa kelas 1 SMA Bintara Depok yang mengutarakan keingininanya berlibur untuk mendaki Gunung Semeru saat liburan tiba, niat inipun di sambut baik oleh Archa Bunda Akmalyang selanjutnya turut menyusun rencana tersebut hingga terlaksana. dari mulai meminta izin orang tua, guru wali kelas hingga membeli tiket dan menyusun perlengkapan yang harus dibawa.

setelah 18 jam perjalanan dari Jakarta menggunakan kereta api Matarmaja akhirnya mereka tiba di kota Malang, lalu perjalanan dilajutkan dengan angkutan kota tujuan Tumpang. Tumpang merupakan kota Kecamatan yang berhawa sejuk, disini mereka mengurus perijinan di kantor Balai TNBTS lalu melengkapi belanja perbekalan terakhir untuk kemudian melanjutkan perjalanan dengan kendaraan hardtop bak terbuka yang berkapasitas hingga 15 orang dengan tujuan Desa Ranupane.

 Ranupane merupakan sebuah desa di kaki Gunung Semeru yang juga termasuk kawasan TNBTS (Taman Nasional Bromo Tengger Semeru), penduduk desa disini mayoritas petani sayur mayur seperti : kentang, kol, wortel dan aneka saturan khas daerah yang berhawa dingin. Desa Ranupane adalah desa terakhir yang menjadi titik awal pendakian menuju Semeru. 

Pagi itu cuaca Ranupane dan sekitarnya terlihat cerah, kamipun memulai pendakian dan mereka berlimapun langsung berjalan lebih cepat di depan kami maklumlah mereka tenaga muda yang masih bersemangat. saya berjalan perlahan jauh dibelakang mereka yang sesekali berhenti untuk menghela nafas. lepas tengah hari kami tiba di Ranukumbolo yaitu sebuah danau nan favorit bagi setiap orang yang mendaki Semeru, disini kami niatkan tuk bermalam dihari pertama agar dapat berlama-lama menikmati pemandangan. hingga malam menjelang beberapa kelompok pendaki masih terlihat berdatangan, baik yang mau melanjutkan esok hari maupun yang baru datang dari Kalimati hingga suasana Ranukumbolo malam itu terasa ramai. namau dinginnya malam membuat kami tak berlama-lama bercengkrama di luar tenda dan kamipun segera memasuki peraduan masing-masing.

Matahari belum lagi menampakan sinarnya, sang rembulanpun masih terlihat di ufuk barat menyisakan bulatan purnama sisa malam tadi namun hiruk pikuk para tetangga terdengar sayup-sayup membangunkanku. sepertinya mereka menunggu suasana sunrise namun sepertinya sinar mentari pagi itu kurang terasa seceria yang di harap. tak lama satu persatu dari kami mulai terbangun dan mulai beraktivitas dengan menikmati segelas minuman hangat sesuai selera. dan seiring mentari menyinari kamipun mulai berkemas mempacking sambil memasak hidangan sarapan pagi untuk kemudian segera melanjutkan pendakian menuju Kalimati.

Tanjakan cinta, inilah tanjakan favorit yang sangat menguras tenaga di awal perjalan pagi itu. namun itu akan segera terobati setelah tiba di atas dan melihat pemandangan baru yaitu O3 alias Oro-oro Ombo, sebuah padang yang banyak di tumbuhi bunga berwarna ungu hingga para pendaki kini banyak menyebutnya dengan nama "padang Lavender" entah sejak kapan nama itu menjadi favorit...
selepas dari Oro2 ombo kita tiba di Blok Cemoro kandang, rata-rata pendaki hanya menghentikan langkahnya disini tuk sekedar istirahat. seandainya di blok ini terdapat sumber air, pastilah ini akan jadi favorit tuk bermalam (*ngeCamp.red).
perjalanan kami lanjutkan menyusuri jalan setapak yang dikanan-kirinya banyak pohon cemara "mirip lirik lagu naik-naik ke puncak gunung" jalurnya landai namun panjang hingga tiba di blok Jambangan, yaitu blok favorit untuk berNarsis ria dengan panorama puncak Mahameru sebagai backgroundnya.
Setelah puas berNarsis ria kamipun segera lanjut menuju Kalimati, jalurnya landai dan menurun. Tak lama kami berjalan sudah mulai terlihat tenda-tenda para pendaki yang sudah lebih dulu tiba di Kalimati, Kalimati merupakan dataran berpasir yang cukup luas dan tempat ini banyak dijadikan camp terakhir sebelum melanjutkan pendakian ke Mahameru (puncak tertinggi Gh.Semeru) walaupun masih ada areal camp berikutnya yaitu Arcopodo.

*mau tau cerita dan foto lanjutan...? besok lagi ya...maklum resize nya nyicil

Jelajah hutan Lore Utara, menjawab teka-teki Danau Patawu



Pertengahan Juni 2013 lalu saya berkesempatan mengunjungi kota Palu atas undangan saudari Zee Cantigi untuk sebuah kegiatan latihan Navigasi darat yang di selenggarakan oleh komunitasnya yaitu Green Alpen. kesempatan inipun tak saya sia-siakan untuk sekalian berlatih menjelajah di hutan Sulawesi Tengah.

saat melihat lembar peta topografi terbitan Bakosurtanal yang berjudul WUASA, di lembar tersebut ada yang menyita perhatian saya yaitu sebuah danau yang bernama PATAWU. dan setelah bertanya ke beberapa sumber ternyata danau tersebut memang belum banyak di kunjungi oleh para penggiat alam terbuka setempat, ini pula yang menambah keingin tahuan saya tuk segera bekunjung kesana.


Rano Patawu, merupakan sebuah danau yang masih asri terletak di ketinggian 1850 mdpl di tengah lebatnya hutan Lore Utara. beberapa ekor burung belibis terlihat asyik berenang, airnya nan biru menandakan kedalaman danau tersebut.


Mengawali perjalan 


sore itu kami bertiga berangkat dari kota Palu menggunakan 2 sepeda motor tujuan danau Tambing, danau kecil yang terletak di kawasan Taman Nasional Lore Lindu. Danau Tambing merupakan salah satu tempat tujuan weekend bagi para penggemar kegiatan berkemah sambil memancing. hampir setiap sabtu - minggu tempat ini selalu didatangi para kempers dari kota Palu. malam itu kami bermalam disini untuk memulai perjalan esok hari ke Danau Patawu.


di pagi yang cerah kami mengawali perjalan dari danau Tambing masih menggunakan sepeda motor ke desa Sedoa, yaitu desa terdekat untuk memulai pendakian ke Patawu. Sebelumnya kami sempatkan untuk melapor kepada aparat desa lalu lanjut mencari warung makan tuk sarapan pagi sekaligus menambah perbekalan, pukul 11.00 barulah kami menuju ujung jalan desa hingga tak dapat lagi di lalui sepeda motor dan di rumah terakhir itulah kendaraan kami titipkan.

Di ujung kebun yang berbatasan langsung dengan hutan kami berhenti dan membula lembar peta yang kami bawa untuk langsung berOrientasi memastikan titik kami berada, beberapa acuan kami bidik dengan kompas dan setelah yakin barulah kami melajutkan pendakian.
rumah terakhir tempat kami menitipkan motor

Bernavigasi menuju Patawu


Sungai (Owai) Tawailia menjadi patokan / guide kami di awal perjalanan, kami masih mengikuti jalan setapak yang ada dan setelah menyebrangi 2 anak sungai barulah rencana kami mulai mendaki mengikuti punggungan yang langsung mengarah ke danau Patawu. Sementara jalur yang kami ikuti tidak mengarah ke atas melaikan malah menyebragi sungai utama dan disini kami putuskan tuk membuka jalur ke atas(arah utara) dan tidak mengikuti lagi jalur yang menyebrangi sungai. vegetasi yang kami buka lumayan lebat dan banyak duri rotan dengan kemiringan hingga 40°, sempat terbersit dalam hati "mustahil kalau tak ada jalan ke danau" dan ternyata benar setelah ± 1jam kami menerobos lebatnya vegetasi hutan baru kami temukan jalan setapak. " dari mana jalan ini berasal " tanyaku pada kedua teman seperjalanan "wah ga jelas Kang" jawab Agus, " ya sudah kita ikuti saja terus jalan ini, toh sudah searah dengan rencana semula " jawabku. 

orientasi medan

sesekali kami berhenti tuk menikmati pemandangan sambil menikmati segelas minuman hangat agar tubuh kembali segar (ngosrek *red)

Menjelang senja kami melajutkan perjalanan, perkiraanku sebelum hari gelap kami sudah tiba di tepi danau karena jalan yang kami lalui sudah terlihat jelas. Namun diluar dugaan hari mulai gelap dan kamipun segera mengeluarkan senter masing-masing, jalan yang kami lalui tiba-tiba tak terlihat lagi sementara vegetasi hutan sekitar sudah tak lebat sehingga menyamarkan antara jalan setapak dan bukan. daripada berputar-putar tak jelas arahnya, maka saya putuskan untuk mencari sumber air terdekat dan bermalam disitu. tak lama kami temukan sumber aliran kecil dan sedikit dataran yang cukup untuk mendirikan satu tenda." ..ah, memang sebaiknya segera berhenti jika hari sudah mulai gelap, walaupun kita dapat menentukan arah perjalanan" kataku pada kedua rekan seperjalanan.
resection

Terjawabnya teka-teki itu


pukul 06.35 pagi itu Indra sudah bangun lebih awal, sudah 2x pagi ia bangun paling dulu diantara kami bertiga. Tak lama sayapun segera keluar tenda tuk menikmati segelas teh hangat di pagi hari sambil menghidupkan kembali perapian sisa tadi malam, sesekali saya coba tuk plotting posisi dari GPS kedalam peta dan hasilya memang tak jauh lagi letak danau Patawu kira-kira tinggal 300 meter lagi.

setengah jam kemidian kami bertiga sudah mulai beraktivitas tuk masak sarapan pagi sambil membongkar tenda dan mempackingnya kedalam ransel, " kita harus berangkat lebih awal nih...karena seharusnya kemarin kita tiba di danau".
sungai yang kami lsebrangi

usai packing kami mulai lanjut perjalanan menuju danau, kali ini pilihannya hanya tinggal turun mengikuti aliran air atau memotong punggungan. kami coba ikuti aliran dan ternyata tiba di sebuah rawa dengan gulma rumput yang tinggi-tinggi, awalnya saya mengira rawa itulah danau namun setelah orientasi peta kita masih berada di sungai aliran masuk. tak lama kami putuskan untuk memotong arah punggungan ke atas dan tak lama kami temukan kembali jalur yang semalam hilang lalu kamipun mengikuti jalur itu dan tak lama "SubhanAlloh...itu rupanya danaunya" terlihat hamparan luas nan biru dengan latar belakang langit yang biru pula.

Kami tiba di tepi danau yang terdapat sebuah gubuk yang mungkin sering di gunakan oleh para pencari getah damar.

Perjalanan menuju Gunung (Bulu) Anaso


Usai masak dan makan siang di pondok tepi danau kami segera berkemas dan melanjutkan perjalanan menuju Bulu Anaso karena sesuai rencana kami turun tidak melalui jalur semula, awalnya kami mengikuti jalan setapak mendaki ke arah barat hingga puncak 2107mdpl sampai disini jalurnyapun hilang maklumlah karena jalur para pencari getah damar pasti tidak jelas. Selanjutkan kami mengandalkan arah kompas yang kami kunci ke arah 160° dan terus berusaha konsisten karena kami hampir tidak dapat Orientasi medan karena lebatnya vegetasi dan tidak lagi terlihat puncakan yang lebih tinggi, hampir 2 jam lamanya kami masih berkutat di rerimbunan hutan dan setelah menemukan genakan air berlumut kami putuskan untuk menghentikan perjalanan dan segera mendirikan tenda untuk bermalam karena waktu sudah menujukan pukul 16.40.

Sore itu kami berbagi tugas, saya menggali genangan yang penuh lumut agar dapat menampung air lebih banyak sedangkan Agus dan Indra mendirikan tenda lalu mengumpulkan kayu bakar untuk api unggun nanti malam. Setelah air yang kami tampung terlihat jernih barulah kami ambil tuk mulai memasak agar kami segera menikmati minuman hangat. Walau kami berada di hutan entah-berantah kami tetap berusaha tuk menjaga kondisi tubuh agar fisik tetap terjaga.

Hari sudah mulai gelap seiring terdengar suara unggas malam dan api unggun mulai kami nyalakan sambil menikmati segelas kopi hangat "hmmmmm...segar rasanya setelah seharian tadi beraktifitas, kini tubuh kembali kami manjakan".

Malam itu kami sempatkan membahas jalur yang tadi siang kami lalui sambil mengevaluasinya melalui peta dan kesimpulannya kami akan lakukan untuk esok hari. Malam mulai larut dan kamipun segera mengeluarkan sleeping bag masing2 untuk segera istirahat tidur untuk memulihkan kondisi.

Akhir dari Lintas Rano Patawu


waktu di alrojiku menujukan pukul 06.10, pagi itu rasanya malas sekali hingga mau keluar tenda pun rasanya enggan beranjak. Tapi seperti biasa Indra sudah lebih dulu bangun dan dari celah pintu tenda sudah terlihat ia memasak air, agar bertambah semangat pagi sayapun segera bangun dan keluar tenda. Seperti biasa segelas minuman hangat kami nikmati sambil masak sarapan pagi dan packing agar dapat lebih pagi lagi melajutkan perjalanan.

Usai sarapan kami langsung berkemas tuk lanjutkan perjalanan turun, pagi ini ada yang beda setelah beberapa hari kami mulai perjalanan TANPA berdo'a kini kami berdo'a sebelum mulai. Tak lebih dari 20 menit kami menerobos hutan kamipun menemukan jalan setapak yang cukup lebar dan setelah kami telusuri sekitar 300 meteran kami tiba di sebuah pondok pencari damar yang masih ada penghuninya.
"Assalamualaikum. selamat pagi", salam ku pada mereka. Sesaat mereka terkejut melihat kedatangan kami dan setelah kami jelaskan tentang perjalanan kami disisni merekapun terlihat senang dan seraya menceritakan tempat-tempat yang bagus di sekitar sini. Beberapa buah jagung bakar mereka bakarkan untuk kita bertiga dan kamipun tak mau ketinggalan turut membuka sisa-sisa perbekalan kopi terakhir untuk dinikmati bersama hingga suasanapun jadi terasa hangat.

Tak lama kami berpamitan untuk segera turun, namun salah seorang dari pencari getah damar menyarankan untuk tidak turun melalui jalur puncak dingin (Gunung Bulu Torenali) karena terlalu jauh “sebaiknya nanti ada jalan setapak ke kiri, ikuti saja…itu akan lebih cepat sampai ke Desa Sedoa”. “wah…kebetulan” pikirku dalam hati, jadi bias langsung ambil motor yang kami titipkan, dan akhirnya kamipun mengikuti saran Bapak pencari getah dammar tadi.

Beberapa menit berjalan kami selalu memperhatikan persimpangan arah ke kiri, dan akhirnya kami temukan juga jalur yang di maksud. Rupanya Indra sudah tau sebelumnya tentang jalur turun yang ini, ini adalah jarur transek bersama petugas Taman Nasional yang di lalui tahun kemarin “katanya”.
Setelah ± satu jam 40 menit kami tiba di pertigaan sungai pertama dan saya putuskan untuk istirahat sambil masak makan siang yang sudah lewat waktu, “sekarang jam 13.20, kita brenti dulu masak makanan terakhir ya…” saranku pada mereka berdua dan merekapun setuju, toh jarak menuju desa Sedoa tinggal sedikit lagi.

*baca tulisan sambil lihat urutan foto..
*seperti biasa foto dan cerita lanjut esok, kalau sempat..

Mapaptri & Mapalast mendaki Merbabu

Mapaptri & Mapalast mendaki Merbabu

Sepulang dari mataram saya janjian dengan teman-teman dari Mapaptri (STP Trisakti Jakarta) untuk mendaki gunung Merbabu, sambil menunggu kedatangan mereka saya singgah di sekretariat Mapalast (Univ. Stikubank Semarang).
Kesempatan ini juga saya tawarkan pada mereka untuk sama-sama naik merbabu dan kebetulan mereka menyambut baik ajaka saya. Namun karena rencana yang mendadak, pendakian kali ini tak banyak yang dapat ikut serta.

Misi pendakian kecil teman-teman Mapaptri ke Merbabu ini untuk sekedar belajar berNavigasi darat dan mengEvaluasi hasil persiapan pendakian (menejemen perjalanan) yang sudah dilakukan selama ini.
Di pilihnya gunung Merbabu ini berdasarkan keinginan mereka sendiri serta ketersediaan waktu libur kuliah dan masukan saya waktu itu adalah “pilih lokasi yang memang kalian inginkan agar tidak ada rasa keterpaksaan”.

Singkat cerita hari itu kami sepakat berkumpul di kota Salatiga yang kebetulan ada saudaraku Matoel yang sedang bertugas kerja di kota itu yang dengan lapang dada ia menyediakan sarana akomodasi untuk kami singgah di Mess kerjanya dan dengan suka rela mengantar kami ke dusun titik awal pendakian.

Sableman, sebuah dusun kecil di lereng utara Merbabu menjadi titik awal kami tuk memulai pendakian. Dusun ini terletak di ketinggian 1600m dpl, daerah yang lumayan tinggi untuk menggapai puncak Merbabu.
Usai berdo’a kami memulai pendakian, sesekali kami berhenti untuk menganilasi jalur melalui peta topografi yang kami bawa. Hutan pinus menjadi sajian awal jalur pendakian kami, beberapa penduduk desa terlihat berpapasan sesusai mereka mengambil hasil hutan baik rumput pakan ternak maupun kayu bakar. Dua jam berjalan langkah kami hentikan tuk melihat pemandangan sambil menikmati susu murni hangat yang kami bekal dari bawah “ah…indahnya perjalanan ini”.
Tak lama pendakianpun kami lajutkan, medan yang kami lalui mulai berganti hutan cemara dengan kombinasi rumput gajah yang sengaja di tanam tumpang sari oleh penduduk untuk pakan ternak.

Matahari tepat berada di atas kami, sayup-sayup suara azan masih terdengar pertanda mendekati waktu shalat Jum’at. Pendakian kami hentikan sesaat sambil melepas rasa penat yang mulai terasa, namun rasa lapar belum juga terasa maka siang ini kami hanya menikmati segelas susu segar hangat dan makanan ringan.
Setelah dirasa cukup, perdakian kami lanjutkan. Semak belukar mulai terlihat menutupi jalan setapak yang tadi terlihat jelas, kali ini saya dan beberapa orang di formasi paling depan harus mengeluarkan golok guna membuka jalur yang tertutup.
Semak belukar dari perdu pohon kirinyuh yang lebat sesekali memaksa saya harus membuka ransel agar dapat leluasa menerobos jalur yang tertutup, bunga babadotan kering yang beterbangan jika tertebas juga cukup membuat hidung sesak.

Waktu menujukan pukul 16.30 ketika kami belum juga menemukan areal yang landai untuk mendirikan tenda, dengan terpaksa pendakian saya hentikan dan segera membuka lahan tuk sekedar membentang flysheet sebagai atap untuk bermalam.
Areal yang kami buka tidak cukup untuk mendirikan 3 buah tenda yang kami bawa sehingga malam ini kami tidur dengan berBivak flysheet. Sungguh malam yang diluar harapan kami, namun demikian kami harus beristirahat dengan nyaman agar esok badan bisa kembali segar. Wajah sang rembulan mulai menampakan sinarnya dan api unggun mulai kami padamkan ketika satu-persatu dari kami mulai terlelap di balik sleeping bag masing-masing.



Pagi ini kami packing lebih awal, segelas minuman hangat dan makanan ringan menjadi menu sarapan pagi kami sebelum melanjutkan pendakian. Stok perbekalan air yang kami bawa mulai menipis sehingga kami harus sedikit menghemat perbekalan air yang kami bawa untuk sampai mata air yang kami tuju di ketinggian 2850mdpl.
Lintasan yang kami lalui masih tertutup semak belukar, walau sebetulnya kalau di amati jalur yang kami lalui ini dahulunya merupakan jalur yang sering dilalui terbukti dari adanya string line dan marka yang masih terlihat.
Meter demi meter kami menambah ketinggian hingga akhirnya kami dapat mencapai vegetasi savanna, tak lama kemudian kami bertemu jalur yang cukup besar dimana jalur ini dibuat untuk memasang pipa yang dialirkan dari mata air yang akan kami tuju. Menjelang sore kami semua sudah berada di suatu tempat dimana terdapat sumber mata air, disini terlihat ujung pipa yang entah di alirkan kemana.

Lega rasanya setiba disini kami masing-masing bisa menikmati minuman hangat sesuka hati, bahkan untuk menganjal perut yang lapar sedari tadi siang ada pula yang memasak mie instant. Disini sengaja hanya kami membentangkan satu flysheet lebar karena luasnya yang terbatas sekedar untuk masak dan berkumpul, sedangkan tenda-tenda kami buka di dekat savanna.
Satu suasana langit senja yang indah tak kami lewatkan sambil menikmati kopi hangat dan berbagi cerita perjalanan siang tadi. Satu setengah misting nasi dengan berbagai lauk-pauk sudah kami siapkan sebagai sajian menu makan malam.

Malam yang bertabur bintang dengan suasana gemerlap lampu-lampu kota terlihat di kejauhan, api unggun sudah kami nyalahkan agar menambah semangat menikmati malam ini. Usai makan malam sengaja kami bekumpul di dekat perapian untuk sekedar mengulas dari persiapan hingga perjalan hari ini, satu-persatu hasil evaluasi dicatat untuk perbaikan perjalanan kedepan agar lebih baik. Mulai dari pengumpulan data informasi, persiapan perlengkapan pendakian, perbekalan selama perjalan (menejemen perjalanan) hingga teknis bernavigasi darat kami ulas semua malam itu. Saya sengaja menerapkan metode belajar dilapangan agar semua menjadi lebih efektif dan semua terjawab saat mereka melakukannya, dengan kata lain “learning by doing”.  Setelah dirasa cukup barulah kita berganti topik bebas, bercerita sesuka hati dari curhat hingga berbagi pengalaman. Tanpa terasa malam mulai larut,  satu persatu mulai beranjak menuju tenda masing-masing untuk beristirahat.

Seperti hari kemarin saya terbangun lebih awal, jam ditanganku menujukan pukul 07.25 “sudah siang rupanya”. Tanpa banyak pikir saya langsung memasak air tuk membuat minuman hangat, sambil menunggu air masak saya coba mengabadikan suasana pagi yang cerah walau sedikit terlambat.  Dikejauhan pucuk gunung Sundoro dan Sumbing terlihat sangat jelas “sungguh pemandangan yang jarang sekali kunikmati”, beberapa frame sempat kuabadikan dan selanjutnya tinggal menikmati segelas teh hangat sambil memandangi keindahaanya.

Hari ini memang sengaja saya buat santai, maka saya biarkan teman-teman untuk bangun sesuka hati. Ketinggian puncak Merbabu yang akan kami tuju hanya tinggal 250m dpl lagi, jadi hanya membutuhkan beberapa jam saja untuk menggapainya. Hari menjelang petang ketika semua mulai keluar dari peraduannya, seperti biasa aktifitas masak-memasak kami lakukan. Pagi ini kondisi fisik mereka masih terlihat segar, mungkin karena istirahat dan makan yang cukup.


Lepas tengah hari pendakian kami lajutkan, lintasan yang kami lalui dan sejauh mata memandang ke depan hanya savanna yang terlihat. Teriknya matahari tak menyurutkan semangat langkah kami, bahkan beberapa diantara dari mereka asyik berfoto ria. Langit nan biru serta hembusan angin seraya menyegarkan tubuh dan pandangan mata, perlahan namun pasti akhirnya mengantar langkah kami tiba di puncak Merbabu.