Mapaptri & Mapalast mendaki Merbabu
Sepulang dari mataram saya janjian dengan teman-teman dari Mapaptri (STP Trisakti Jakarta) untuk mendaki gunung Merbabu, sambil menunggu kedatangan mereka saya singgah di sekretariat Mapalast (Univ. Stikubank Semarang).
Sepulang dari mataram saya janjian dengan teman-teman dari Mapaptri (STP Trisakti Jakarta) untuk mendaki gunung Merbabu, sambil menunggu kedatangan mereka saya singgah di sekretariat Mapalast (Univ. Stikubank Semarang).
Kesempatan ini juga saya tawarkan pada mereka untuk
sama-sama naik merbabu dan kebetulan mereka menyambut baik ajaka saya. Namun
karena rencana yang mendadak, pendakian kali ini tak banyak yang dapat ikut
serta.
Misi pendakian kecil teman-teman Mapaptri ke Merbabu ini
untuk sekedar belajar berNavigasi darat dan mengEvaluasi hasil persiapan
pendakian (menejemen perjalanan) yang sudah dilakukan selama ini.
Di pilihnya gunung Merbabu ini berdasarkan keinginan mereka
sendiri serta ketersediaan waktu libur kuliah dan masukan saya waktu itu adalah
“pilih lokasi yang memang kalian inginkan agar tidak ada rasa keterpaksaan”.
Singkat cerita hari itu kami sepakat berkumpul di kota Salatiga yang kebetulan ada saudaraku Matoel yang
sedang bertugas kerja di kota
itu yang dengan lapang dada ia menyediakan sarana akomodasi untuk kami singgah
di Mess kerjanya dan dengan suka rela mengantar kami ke dusun titik awal
pendakian.
Sableman, sebuah dusun kecil di lereng utara Merbabu menjadi
titik awal kami tuk memulai pendakian. Dusun ini terletak di ketinggian 1600m
dpl, daerah yang lumayan tinggi untuk menggapai puncak Merbabu.
Usai berdo’a kami memulai pendakian, sesekali kami berhenti
untuk menganilasi jalur melalui peta topografi yang kami bawa. Hutan pinus
menjadi sajian awal jalur pendakian kami, beberapa penduduk desa terlihat
berpapasan sesusai mereka mengambil hasil hutan baik rumput pakan ternak maupun
kayu bakar. Dua jam berjalan langkah kami hentikan tuk melihat pemandangan
sambil menikmati susu murni hangat yang kami bekal dari bawah “ah…indahnya
perjalanan ini”.
Tak lama pendakianpun kami lajutkan, medan yang kami lalui mulai berganti hutan
cemara dengan kombinasi rumput gajah yang sengaja di tanam tumpang sari oleh
penduduk untuk pakan ternak.
Matahari tepat berada di atas kami, sayup-sayup suara azan
masih terdengar pertanda mendekati waktu shalat Jum’at. Pendakian kami hentikan
sesaat sambil melepas rasa penat yang mulai terasa, namun rasa lapar belum juga
terasa maka siang ini kami hanya menikmati segelas susu segar hangat dan
makanan ringan.
Setelah dirasa cukup, perdakian kami lanjutkan. Semak
belukar mulai terlihat menutupi jalan setapak yang tadi terlihat jelas, kali
ini saya dan beberapa orang di formasi paling depan harus mengeluarkan golok
guna membuka jalur yang tertutup.
Semak belukar dari perdu pohon kirinyuh yang lebat sesekali
memaksa saya harus membuka ransel agar dapat leluasa menerobos jalur yang
tertutup, bunga babadotan kering yang beterbangan jika tertebas juga cukup
membuat hidung sesak.
Waktu menujukan pukul 16.30 ketika kami belum juga menemukan
areal yang landai untuk mendirikan tenda, dengan terpaksa pendakian saya
hentikan dan segera membuka lahan tuk sekedar membentang flysheet sebagai atap
untuk bermalam.
Areal yang kami buka tidak cukup untuk mendirikan 3 buah
tenda yang kami bawa sehingga malam ini kami tidur dengan berBivak flysheet.
Sungguh malam yang diluar harapan kami, namun demikian kami harus beristirahat
dengan nyaman agar esok badan bisa kembali segar. Wajah sang rembulan mulai
menampakan sinarnya dan api unggun mulai kami padamkan ketika satu-persatu dari
kami mulai terlelap di balik sleeping bag masing-masing.
Pagi ini kami packing lebih awal, segelas minuman hangat dan
makanan ringan menjadi menu sarapan pagi kami sebelum melanjutkan pendakian.
Stok perbekalan air yang kami bawa mulai menipis sehingga kami harus sedikit
menghemat perbekalan air yang kami bawa untuk sampai mata air yang kami tuju di
ketinggian 2850mdpl.
Lintasan yang kami lalui masih tertutup semak belukar, walau
sebetulnya kalau di amati jalur yang kami lalui ini dahulunya merupakan jalur
yang sering dilalui terbukti dari adanya string line dan marka yang masih
terlihat.
Meter demi meter kami menambah ketinggian hingga akhirnya
kami dapat mencapai vegetasi savanna, tak lama kemudian kami bertemu jalur yang
cukup besar dimana jalur ini dibuat untuk memasang pipa yang dialirkan dari
mata air yang akan kami tuju. Menjelang sore kami semua sudah berada di suatu
tempat dimana terdapat sumber mata air, disini terlihat ujung pipa yang entah
di alirkan kemana.
Lega rasanya setiba disini kami masing-masing bisa menikmati
minuman hangat sesuka hati, bahkan untuk menganjal perut yang lapar sedari tadi
siang ada pula yang memasak mie instant. Disini sengaja hanya kami membentangkan
satu flysheet lebar karena luasnya yang terbatas sekedar untuk masak dan
berkumpul, sedangkan tenda-tenda kami buka di dekat savanna.
Satu suasana langit senja yang indah tak kami lewatkan sambil
menikmati kopi hangat dan berbagi cerita perjalanan siang tadi. Satu setengah
misting nasi dengan berbagai lauk-pauk sudah kami siapkan sebagai sajian menu
makan malam.
Malam yang bertabur bintang dengan suasana gemerlap
lampu-lampu kota
terlihat di kejauhan, api unggun sudah kami nyalahkan agar menambah semangat
menikmati malam ini. Usai makan malam sengaja kami bekumpul di dekat perapian
untuk sekedar mengulas dari persiapan hingga perjalan hari ini, satu-persatu
hasil evaluasi dicatat untuk perbaikan perjalanan kedepan agar lebih baik. Mulai
dari pengumpulan data informasi, persiapan perlengkapan pendakian, perbekalan
selama perjalan (menejemen perjalanan) hingga teknis bernavigasi darat kami
ulas semua malam itu. Saya sengaja menerapkan metode belajar dilapangan agar
semua menjadi lebih efektif dan semua terjawab saat mereka melakukannya, dengan
kata lain “learning by doing”. Setelah
dirasa cukup barulah kita berganti topik bebas, bercerita sesuka hati dari
curhat hingga berbagi pengalaman. Tanpa terasa malam mulai larut,
satu persatu mulai beranjak menuju tenda masing-masing untuk
beristirahat.
Seperti
hari kemarin saya terbangun lebih awal, jam ditanganku menujukan pukul 07.25
“sudah siang rupanya”. Tanpa banyak pikir saya langsung memasak air tuk membuat
minuman hangat, sambil menunggu air masak saya coba mengabadikan suasana pagi
yang cerah walau sedikit terlambat. Dikejauhan pucuk gunung Sundoro dan Sumbing
terlihat sangat jelas “sungguh pemandangan yang jarang sekali kunikmati”,
beberapa frame sempat kuabadikan dan selanjutnya tinggal menikmati segelas teh
hangat sambil memandangi keindahaanya.
Hari ini
memang sengaja saya buat santai, maka saya biarkan teman-teman untuk bangun
sesuka hati. Ketinggian puncak Merbabu yang akan kami tuju hanya tinggal 250m dpl
lagi, jadi hanya membutuhkan beberapa jam saja untuk menggapainya. Hari
menjelang petang ketika semua mulai keluar dari peraduannya, seperti biasa
aktifitas masak-memasak kami lakukan. Pagi ini kondisi fisik mereka masih
terlihat segar, mungkin karena istirahat dan makan yang cukup.
Lepas tengah
hari pendakian kami lajutkan, lintasan yang kami lalui dan sejauh mata
memandang ke depan hanya savanna yang terlihat. Teriknya matahari tak
menyurutkan semangat langkah kami, bahkan beberapa diantara dari mereka asyik
berfoto ria. Langit nan biru serta hembusan angin seraya menyegarkan tubuh dan
pandangan mata, perlahan namun pasti akhirnya mengantar langkah kami tiba di
puncak Merbabu.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar