Rabu, 23 Oktober 2013

Mapaptri & Mapalast mendaki Merbabu

Mapaptri & Mapalast mendaki Merbabu

Sepulang dari mataram saya janjian dengan teman-teman dari Mapaptri (STP Trisakti Jakarta) untuk mendaki gunung Merbabu, sambil menunggu kedatangan mereka saya singgah di sekretariat Mapalast (Univ. Stikubank Semarang).
Kesempatan ini juga saya tawarkan pada mereka untuk sama-sama naik merbabu dan kebetulan mereka menyambut baik ajaka saya. Namun karena rencana yang mendadak, pendakian kali ini tak banyak yang dapat ikut serta.

Misi pendakian kecil teman-teman Mapaptri ke Merbabu ini untuk sekedar belajar berNavigasi darat dan mengEvaluasi hasil persiapan pendakian (menejemen perjalanan) yang sudah dilakukan selama ini.
Di pilihnya gunung Merbabu ini berdasarkan keinginan mereka sendiri serta ketersediaan waktu libur kuliah dan masukan saya waktu itu adalah “pilih lokasi yang memang kalian inginkan agar tidak ada rasa keterpaksaan”.

Singkat cerita hari itu kami sepakat berkumpul di kota Salatiga yang kebetulan ada saudaraku Matoel yang sedang bertugas kerja di kota itu yang dengan lapang dada ia menyediakan sarana akomodasi untuk kami singgah di Mess kerjanya dan dengan suka rela mengantar kami ke dusun titik awal pendakian.

Sableman, sebuah dusun kecil di lereng utara Merbabu menjadi titik awal kami tuk memulai pendakian. Dusun ini terletak di ketinggian 1600m dpl, daerah yang lumayan tinggi untuk menggapai puncak Merbabu.
Usai berdo’a kami memulai pendakian, sesekali kami berhenti untuk menganilasi jalur melalui peta topografi yang kami bawa. Hutan pinus menjadi sajian awal jalur pendakian kami, beberapa penduduk desa terlihat berpapasan sesusai mereka mengambil hasil hutan baik rumput pakan ternak maupun kayu bakar. Dua jam berjalan langkah kami hentikan tuk melihat pemandangan sambil menikmati susu murni hangat yang kami bekal dari bawah “ah…indahnya perjalanan ini”.
Tak lama pendakianpun kami lajutkan, medan yang kami lalui mulai berganti hutan cemara dengan kombinasi rumput gajah yang sengaja di tanam tumpang sari oleh penduduk untuk pakan ternak.

Matahari tepat berada di atas kami, sayup-sayup suara azan masih terdengar pertanda mendekati waktu shalat Jum’at. Pendakian kami hentikan sesaat sambil melepas rasa penat yang mulai terasa, namun rasa lapar belum juga terasa maka siang ini kami hanya menikmati segelas susu segar hangat dan makanan ringan.
Setelah dirasa cukup, perdakian kami lanjutkan. Semak belukar mulai terlihat menutupi jalan setapak yang tadi terlihat jelas, kali ini saya dan beberapa orang di formasi paling depan harus mengeluarkan golok guna membuka jalur yang tertutup.
Semak belukar dari perdu pohon kirinyuh yang lebat sesekali memaksa saya harus membuka ransel agar dapat leluasa menerobos jalur yang tertutup, bunga babadotan kering yang beterbangan jika tertebas juga cukup membuat hidung sesak.

Waktu menujukan pukul 16.30 ketika kami belum juga menemukan areal yang landai untuk mendirikan tenda, dengan terpaksa pendakian saya hentikan dan segera membuka lahan tuk sekedar membentang flysheet sebagai atap untuk bermalam.
Areal yang kami buka tidak cukup untuk mendirikan 3 buah tenda yang kami bawa sehingga malam ini kami tidur dengan berBivak flysheet. Sungguh malam yang diluar harapan kami, namun demikian kami harus beristirahat dengan nyaman agar esok badan bisa kembali segar. Wajah sang rembulan mulai menampakan sinarnya dan api unggun mulai kami padamkan ketika satu-persatu dari kami mulai terlelap di balik sleeping bag masing-masing.



Pagi ini kami packing lebih awal, segelas minuman hangat dan makanan ringan menjadi menu sarapan pagi kami sebelum melanjutkan pendakian. Stok perbekalan air yang kami bawa mulai menipis sehingga kami harus sedikit menghemat perbekalan air yang kami bawa untuk sampai mata air yang kami tuju di ketinggian 2850mdpl.
Lintasan yang kami lalui masih tertutup semak belukar, walau sebetulnya kalau di amati jalur yang kami lalui ini dahulunya merupakan jalur yang sering dilalui terbukti dari adanya string line dan marka yang masih terlihat.
Meter demi meter kami menambah ketinggian hingga akhirnya kami dapat mencapai vegetasi savanna, tak lama kemudian kami bertemu jalur yang cukup besar dimana jalur ini dibuat untuk memasang pipa yang dialirkan dari mata air yang akan kami tuju. Menjelang sore kami semua sudah berada di suatu tempat dimana terdapat sumber mata air, disini terlihat ujung pipa yang entah di alirkan kemana.

Lega rasanya setiba disini kami masing-masing bisa menikmati minuman hangat sesuka hati, bahkan untuk menganjal perut yang lapar sedari tadi siang ada pula yang memasak mie instant. Disini sengaja hanya kami membentangkan satu flysheet lebar karena luasnya yang terbatas sekedar untuk masak dan berkumpul, sedangkan tenda-tenda kami buka di dekat savanna.
Satu suasana langit senja yang indah tak kami lewatkan sambil menikmati kopi hangat dan berbagi cerita perjalanan siang tadi. Satu setengah misting nasi dengan berbagai lauk-pauk sudah kami siapkan sebagai sajian menu makan malam.

Malam yang bertabur bintang dengan suasana gemerlap lampu-lampu kota terlihat di kejauhan, api unggun sudah kami nyalahkan agar menambah semangat menikmati malam ini. Usai makan malam sengaja kami bekumpul di dekat perapian untuk sekedar mengulas dari persiapan hingga perjalan hari ini, satu-persatu hasil evaluasi dicatat untuk perbaikan perjalanan kedepan agar lebih baik. Mulai dari pengumpulan data informasi, persiapan perlengkapan pendakian, perbekalan selama perjalan (menejemen perjalanan) hingga teknis bernavigasi darat kami ulas semua malam itu. Saya sengaja menerapkan metode belajar dilapangan agar semua menjadi lebih efektif dan semua terjawab saat mereka melakukannya, dengan kata lain “learning by doing”.  Setelah dirasa cukup barulah kita berganti topik bebas, bercerita sesuka hati dari curhat hingga berbagi pengalaman. Tanpa terasa malam mulai larut,  satu persatu mulai beranjak menuju tenda masing-masing untuk beristirahat.

Seperti hari kemarin saya terbangun lebih awal, jam ditanganku menujukan pukul 07.25 “sudah siang rupanya”. Tanpa banyak pikir saya langsung memasak air tuk membuat minuman hangat, sambil menunggu air masak saya coba mengabadikan suasana pagi yang cerah walau sedikit terlambat.  Dikejauhan pucuk gunung Sundoro dan Sumbing terlihat sangat jelas “sungguh pemandangan yang jarang sekali kunikmati”, beberapa frame sempat kuabadikan dan selanjutnya tinggal menikmati segelas teh hangat sambil memandangi keindahaanya.

Hari ini memang sengaja saya buat santai, maka saya biarkan teman-teman untuk bangun sesuka hati. Ketinggian puncak Merbabu yang akan kami tuju hanya tinggal 250m dpl lagi, jadi hanya membutuhkan beberapa jam saja untuk menggapainya. Hari menjelang petang ketika semua mulai keluar dari peraduannya, seperti biasa aktifitas masak-memasak kami lakukan. Pagi ini kondisi fisik mereka masih terlihat segar, mungkin karena istirahat dan makan yang cukup.


Lepas tengah hari pendakian kami lajutkan, lintasan yang kami lalui dan sejauh mata memandang ke depan hanya savanna yang terlihat. Teriknya matahari tak menyurutkan semangat langkah kami, bahkan beberapa diantara dari mereka asyik berfoto ria. Langit nan biru serta hembusan angin seraya menyegarkan tubuh dan pandangan mata, perlahan namun pasti akhirnya mengantar langkah kami tiba di puncak Merbabu.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar